Ton futur dépend de tes rêves | Masa depanmu tergantung pada impian"mu

Selasa, 02 Juli 2013

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


1.    Pengertian
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalahsetiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.
2.   Azaz dan Tujuan
Guna memahami makna suatu aturan perundang-undangan, perlu disimak  terlebih dahulu apa asas dan tujuan  dibuatnya suatu aturan. Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut. Selanjutnya pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan mempengaruhi pelaksanaan dan caracara penegakan hukum yang akan dilakukan.
Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2  bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.  Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran  Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.
Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999  sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk :
Ð Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ð Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
Ð Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Ð Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
3.   Kegiatan yang Dilarang
a.         Monopoli, merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan Hukum Persaingan Usaha. Monopoli itu sendiri sebetulnya bukan merupakan suatu kejahatan atau bertentangan dengan hukum, apabila diperoleh dengan cara-cara yang fair dan tidak melanggar hukum. Oleh karenanya monopoli itu sendiri belum tentu dilarang oleh hukum persaingan usaha, akan tetapi justru yang dilarang adalah perbuatan-perbuatan dari perusahaan yang mempunyai monopoli untuk menggunakan kekuatannya di pasar bersangkutan yang biasa disebut sebagai praktek monopoli atau  monopolizing/monopolisasi. Suatu perusahaan dikatakan telah melakukan monopolisasi jika pelaku usaha mempunyai kekuatan untuk mengeluarkan atau mematikan perusahaan lain; dan syarat kedua, pelaku usaha tersebut telah melakukannya atau mempunyai tujuan untuk melakukannnya.
b.         Monopsoni, adalah seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk, atau acapkali monopsoni itu identik dengan pembeli tunggal atas produk barang maupun jasa tertentu. Dalam teori ekonomi disebutkan pula, bahwa monopsoni merupakan sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal. Dalam pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada pasar yang kompetitif. Biasanya pembeli tunggal ini pun  akan menjual dengan cara monopoli atau dengan harga yang tinggi.  Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi persaingan usaha yang tidak sehat.
c.          Penguasaan Pasar, atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakankeinginandari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi  positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha kadangkala melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum Kalau hal ini yang terjadi, maka mungkin saja akan berhadapan dengan para penegak hukum karena melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Persaingan Usaha. Walaupun pasal ini tidak merumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian  suatu perusahaan yang menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar.
d.         Kegiatan Menjual Rugi (Predatory Pricing), kegiatan jual rugi atau  predatory pricing ini merupakan suatu bentuk penjualan atau pemasokan barang dan atau jasa dengan cara jual rugi (predatory pricing) yang bertujuan untuk mematikan pesaingnya. Berdasarkan sudut pandang ekonomi  predatory pricing ini dapat dilakukan dengan menetapkan harga yang tidak wajar, dimana harga lebih rendah dari pada biaya variabel rata-rata. Dalam praktek penentuan biaya variabel rata-rata sangat sulit dilakukan, oleh karenanya kebanyakan para sarjana mengatakan, bahwa predatory pricing merupakan tindakan menentukan harga dibawah harga rata-rata atau tindakan jual rugi.
e.         Kecurangan Dalam Menetapkan Biaya Produksi, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 juga menganggap salah satu aspek yang dapat dipersalahkan sebagai penguasaan pasar yang dilarang adalah kecurangan dalam menetapkan biaya produksi. Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Lebih lanjut penjelasan terhadap Pasal 21 tersebut menyatakan, bahwa kecuarangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya.
f.           Persekongkolan, kegiatan ini mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam persekongkolan (conspiracy/konspirasi) terdapat kerjasama yang melibatkan dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum.
4.   Perjanjian yang Dilarang
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
a.       Oligopoli
b.      Penetapan harga
Ø Penetapan harga (Pasal 5 UU No.5/1999);
Ø Diskriminasi harga (Pasal 6 UU No.5/1999);
Ø Jual Rugi (Pasal 7 UU No.5/1999);
Ø Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8 UU No.5/1999);
c.       Pembagian wilayah (Pasal 9 UU No.5/1999);
d.      Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);
e.       Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);
f.        Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);
g.      Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;
h.      Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
i.         Perjanjian Tertutup
Ø  exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);
Ø  tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);
Ø  vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);
j.         Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.
5.   Hal-hal yang Dikecualikan dari UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dikecualikan dari undang-undang anti monopoli, antara lain perjanjian-perjanjian yang dikecualikan, perbuatan yang dikecualikan, perjanjian dan perbuatan yang dikecualikan.
a.       Perjanjian yang dikecualikan
·         Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang.
·         Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
·         Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan.
·         Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan.
·         Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas.
·         Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
b.      Perbuatan yang dikecualikan
·         Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
·         Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
c.       Perbuatan dan atau perjanjian yang diperkecualikan
·         Perbuatan atau perjaanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.
6.   Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi pengawas persaingan usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Hal ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dibentuklah suatu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain :
a)      Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha;
b)     Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya;
c)      Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi;
d)     Memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
e)      Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
f)       Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
g)     Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
h)     Memanggil dan menghadirkan sksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang;
i)        Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
j)        Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
7.   Sanksi
UU No 5 Tahun 1999 menetapkan 2 macam sanksi yaitu sanksi administrative dan sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.
a.       Sanksi administratif, merupakan satu tindakan yang dapat diambil oleh Komisi terhadap pelaku usaha yang melanggar UU No 5 Tahun 1999. Sanksi administrative ini diatur dalam Pasal 47, yang berupa :
-          Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai 13, Pasal 15 dan Pasal 16 ;
-          Perintah untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ;
-          Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan ;
-          Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ;
-          Penetapan pembayaran ganti rugi ;
-          Pengenaan denda minimal Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan setinggi tingginya Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah).
b.      Sanksi pidana pokok, Pasal 48 UU No.5/1999 menentukan bahwa sanksi pidana pokok meliputi pidana denda minimal Rp 25.000.000.000,- dan maksimal Rp.100.000.000.000,-. Pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kurungan selama lamanya 6 bulan. Sanksi pidana ini diberikan oleh pengadilan (bukan merupakan kewenangan Komisi) apabila :
·           Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, 9-14, 16-19, 25,27, dan 28. Pelaku diancam dengan pidana serendah rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setingi tingginya Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 6 bulan.
·           Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5-8, 15, 20-24 dan 26. Pelaku diancam pidana denda serendah rendahnya Rp. 5.000.000.000,- dan setinggi tingginya Rp 25.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 5 bulan.
·           Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41. Ancaman pidananya adalah  serendah rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi tingginya Rp 5.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 3 bulan.
c.       Pidana Tambahan, Pasal 49 UU No.5/1999 menentukan bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha dapat berupa:
v  Pencabutan ijin usaha, atau
v  Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang kurangnya 2 tahun, atau
v  Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar