1.
Pengertian
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalahsetiap
orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
Pasal 4 ayat
2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus
dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan
merugikan kepentingan umum.
2.
Azaz dan Tujuan
Guna memahami makna suatu aturan
perundang-undangan, perlu disimak terlebih dahulu apa asas dan
tujuan dibuatnya suatu aturan. Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi
bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut.
Selanjutnya pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi
arahan dan mempengaruhi pelaksanaan dan caracara penegakan hukum yang akan
dilakukan.
Asas dari UU No. 5 tahun 1999
sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Asas
demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan
ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan
dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.
Adapun tujuan dari UU No. 5
tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk :
Ð Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Ð Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan
pelaku usaha kecil.
Ð Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Ð Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan
usaha.
3.
Kegiatan yang Dilarang
a.
Monopoli, merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan
pembentukan Hukum Persaingan Usaha. Monopoli itu sendiri sebetulnya bukan
merupakan suatu kejahatan atau bertentangan dengan hukum, apabila diperoleh
dengan cara-cara yang fair dan tidak melanggar hukum. Oleh karenanya monopoli
itu sendiri belum tentu dilarang oleh hukum persaingan usaha, akan tetapi
justru yang dilarang adalah perbuatan-perbuatan dari perusahaan yang mempunyai
monopoli untuk menggunakan kekuatannya di pasar bersangkutan yang biasa disebut
sebagai praktek monopoli atau monopolizing/monopolisasi. Suatu perusahaan
dikatakan telah melakukan monopolisasi jika pelaku usaha mempunyai kekuatan
untuk mengeluarkan atau mematikan perusahaan lain; dan syarat kedua, pelaku
usaha tersebut telah melakukannya atau mempunyai tujuan untuk melakukannnya.
b.
Monopsoni, adalah seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang
besar untuk membeli suatu produk, atau acapkali monopsoni itu identik dengan
pembeli tunggal atas produk barang maupun jasa tertentu. Dalam teori ekonomi
disebutkan pula, bahwa monopsoni merupakan sebuah pasar dimana hanya terdapat
seorang pembeli atau pembeli tunggal. Dalam pasar monopsoni, biasanya harga
barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada pasar yang kompetitif.
Biasanya pembeli tunggal ini pun akan menjual dengan cara monopoli atau
dengan harga yang tinggi. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat
akan timbul karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga
terdapat potensi persaingan usaha yang tidak sehat.
c.
Penguasaan Pasar, atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakankeinginandari
hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki
korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh
oleh pelaku usaha. Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha
kadangkala melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum Kalau hal
ini yang terjadi, maka mungkin saja akan berhadapan dengan para penegak hukum
karena melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Persaingan Usaha.
Walaupun pasal ini tidak merumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa
pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu perusahaan yang
menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar.
d.
Kegiatan Menjual Rugi
(Predatory Pricing),
kegiatan jual rugi atau predatory pricing ini
merupakan suatu bentuk penjualan atau pemasokan barang dan atau jasa dengan
cara jual rugi (predatory pricing) yang bertujuan untuk mematikan pesaingnya.
Berdasarkan sudut pandang ekonomi predatory pricing ini dapat dilakukan
dengan menetapkan harga yang tidak wajar, dimana harga lebih rendah dari pada
biaya variabel rata-rata. Dalam praktek penentuan biaya variabel rata-rata
sangat sulit dilakukan, oleh karenanya kebanyakan para sarjana mengatakan,
bahwa predatory pricing merupakan tindakan menentukan harga dibawah harga
rata-rata atau tindakan jual rugi.
e.
Kecurangan Dalam
Menetapkan Biaya Produksi,
berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 juga menganggap salah satu aspek
yang dapat dipersalahkan sebagai penguasaan pasar yang dilarang adalah
kecurangan dalam menetapkan biaya produksi. Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1999
menyatakan, bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan
biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang
dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Lebih lanjut penjelasan terhadap Pasal 21 tersebut menyatakan, bahwa
kecuarangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya merupakan bentuk
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh
biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya.
f.
Persekongkolan, kegiatan ini mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam
persekongkolan (conspiracy/konspirasi) terdapat kerjasama yang melibatkan dua atau
lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum.
4.
Perjanjian yang Dilarang
Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku
usaha, yaitu:
a.
Oligopoli
b.
Penetapan
harga
Ø Penetapan harga (Pasal 5 UU No.5/1999);
Ø Diskriminasi harga (Pasal 6 UU No.5/1999);
Ø Jual Rugi (Pasal 7 UU No.5/1999);
Ø Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8 UU No.5/1999);
c.
Pembagian
wilayah (Pasal 9 UU No.5/1999);
d.
Pemboikotan
(Pasal 10 UU No.5/1999);
e.
Kartel
(Pasal 11 UU No.5/1999);
f.
Trust
(Pasal 12 UU No.5/1999);
g.
Oligopsoni
(Pasal 13 UU No.5/1999) ;
h.
Integrasi
vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
i.
Perjanjian
Tertutup
Ø exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU
No.5/1999);
Ø tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);
Ø vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU
No.5/1999);
j.
Perjanjian
dengan Pihak Luar Negeri.
5.
Hal-hal yang Dikecualikan dari UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dikecualikan dari undang-undang anti
monopoli, antara lain perjanjian-perjanjian yang dikecualikan, perbuatan yang
dikecualikan, perjanjian dan perbuatan yang dikecualikan.
a. Perjanjian
yang dikecualikan
·
Perjanjian yang
berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang.
·
Perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba.
·
Perjanjian penetapan
standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan/atau
menghalangi persaingan.
·
Perjanjian dalam
rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang
dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah
diperjanjikan.
·
Perjanjian kerja sama
penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas.
·
Perjanjian internasional
yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
b.
Perbuatan yang
dikecualikan
·
Perbuatan pelaku
usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
·
Kegiatan usaha
koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
c.
Perbuatan dan atau
perjanjian yang diperkecualikan
·
Perbuatan atau
perjaanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
·
Perbuatan dan/atau
perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak mengganggu kebutuhan atau
pasokan dalam negeri.
6.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi pengawas persaingan usaha adalah sebuah lembaga
yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Hal ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, dibentuklah suatu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas
untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak
melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Adapun tugas
dan wewenang KPPU, antara lain :
a)
Melakukan penilaian
terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha;
b)
Melakukan penilaian
terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan usahanya;
c)
Mengambil tindakan
sesuai dengan wewenang komisi;
d)
Memberikan saran dan
pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat;
e)
Menerima laporan dari
masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
f)
Melakukan penelitian
tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
g)
Melakukan penyelidikan
dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku yang ditemukan
oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
h)
Memanggil dan
menghadirkan sksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang;
i)
Meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang
yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
j)
Menjatuhkan sanksi
berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini.
7.
Sanksi
UU No 5 Tahun 1999 menetapkan
2 macam sanksi yaitu sanksi administrative dan sanksi
pidana yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.
a.
Sanksi administratif, merupakan satu
tindakan yang dapat diambil oleh Komisi terhadap pelaku
usaha yang melanggar UU No 5 Tahun 1999. Sanksi administrative ini diatur dalam Pasal 47, yang berupa :
-
Penetapan
pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai 13, Pasal 15
dan Pasal 16 ;
-
Perintah
untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ;
-
Perintah
untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan ;
-
Penetapan
pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ;
-
Penetapan
pembayaran ganti rugi ;
-
Pengenaan
denda minimal Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan setinggi tingginya Rp
25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah).
b.
Sanksi pidana pokok, Pasal 48 UU
No.5/1999 menentukan bahwa sanksi pidana pokok meliputi pidana denda minimal Rp 25.000.000.000,- dan
maksimal Rp.100.000.000.000,-. Pidana denda tersebut dapat diganti dengan
pidana kurungan selama lamanya 6 bulan. Sanksi pidana ini diberikan oleh pengadilan
(bukan merupakan kewenangan Komisi) apabila :
·
Terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, 9-14, 16-19, 25,27, dan 28. Pelaku
diancam dengan pidana serendah rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupiah) dan setingi tingginya Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar
rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 6 bulan.
·
Terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5-8, 15, 20-24 dan 26. Pelaku diancam
pidana denda serendah rendahnya Rp. 5.000.000.000,- dan setinggi tingginya Rp
25.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 5 bulan.
·
Terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41. Ancaman pidananya adalah
serendah rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi tingginya Rp
5.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 3 bulan.
c.
Pidana Tambahan, Pasal
49 UU No.5/1999 menentukan bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan
terhadap pelaku usaha dapat berupa:
v Pencabutan ijin usaha, atau
v Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti
melakukan pelanggaran terhadap UU ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang kurangnya 2 tahun, atau
v Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar